Bacaan Hari ini:
11190v
Jawab Yesus: “Bukankah ada dua belas jam dalam satu hari? Siapa yang berjalan pada siang hari, kakinya tidak terantuk, karena ia melihat terang dunia ini. Tetapi jikalau seseorang berjalan pada malam hari, kakinya terantuk, karena terang tidak ada di dalam dirinya.”
Yohanes 11: 9 - 10
Saudara-saudari terkasih.
Apa rasa yang hadir dalam benak Anda saat ini? Adakah Anda tergugah oleh jawaban Yesus barusan? Seperti apakah orang yang melihat terang, dan terang ada di dalam dirinya, sehingga kakinya tidak terantuk saat berjalan? Apakah terang yang dimaksud Yesus serupa dengan fungsi kesadaran manusia? Menurut Sudrijanta, ada dua jenis kesadaran, yakni kesadaran yang membangkitkan keindahan, dan kesadaran yang menciptakan penderitaan. Kita mengalami keindahan saat mampu bersikap tenang di tengah kekacauan. Tetap damai di tengah konflik dan permusuhan. Tulus menerima kelemahan dan ketidaksempurnaan. Bisa merasakan sukacita melihat apa yang ada. Menjadi kagum bahwa segalanya menjadi baik adanya. Sebaliknya, kita mengalami penderitaan saat bersikap reaktif mengikuti situasi, seperti hanyut dalam emosi kacau di tengah situasi kekacauan.
Saudara-saudari terkasih.
Adalah seorang anak perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya. “Ayahku idolaku” merupakan slogannya. Apa saja kejadian yang dialami, atau pikiran dan perasaan yang muncul, selalu ia ceritakan dengan penuh semangat kepada ayahnya. Namun keindahan ini tidak berlangsung abadi. Pada waktu ia SMA, secara tidak sengaja, ia mendapati ayahnya selingkuh. Sang ayah pun kemudian memilih hidup bersama dengan selingkuhannya. Sejak itu, anak perempuan ini merasakan sakit hati. Pembawaan dirinya tidak lagi ceria dan spontan. Ia menjadi mudah sedih, suasana hatinya cenderung muram, serta perilakunya menutup diri dari pergaulan. Tak ada lagi cerita spontan dari anak kepada ayah. Meski ia sangat ingin bercerita, atau bahkan sungguh membutuhkan saran atas permasalahannya, ia tidak mampu lagi mengutarakannya kepada sang ayah. Jiwanya seperti terkunci.
Saudara-saudari terkasih.
Anak perempuan ini bersikap reaktif terhadap situasi permasalahan hidup. Sebagaimana umumnya, ia sakit hati saat mendapati ayah - sang idolanya - berselingkuh, bahkan kemudian meninggalkan dirinya. Dan seperti kebanyakan orang juga, ia menutup diri dan menjadi sulit terbuka pada saat hatinya masih terluka. Meskipun demikian, sang anak sadar, bahwa jauh di dasar lubuk hatinya yang paling dalam, ia sungguh-sungguh menyayangi ayahnya, dan percaya bahwa ayahnya masih menyayangi dia. Anak perempuan ini lalu berusaha keras mengobati luka hatinya. Pertama-tama, ia bersikap kebalikan, yaitu saat ia enggan mendekat, ia justru malah berusaha menyapa. Namun lama-lama, ia merasa lelah, dan tidak lagi berusaha memaksakan dirinya. Ia jujur mengakui luka hatinya, sekaligus kerinduannya, dan bersikap diam tanpa mengikuti dorongan apapun yang muncul. Pelan-pelan, konflik batinnya reda, dan ia menerima keadaan dirinya. Rasa sedih-kecewa, marah-menggugat, dan malas-menghindar masih suka tiba-tiba muncul. Ia lepaskan rasa tidak nyamannya dengan diam menghela nafas panjang. Luka hatinya mengering. Hatinya mulai tergerak untuk kembali belajar membina relasi dengan sang ayah – yang semakin tua. Kali ini, didasari oleh kesiapan dan kasih yang tulus.
REFLEKSI:
Maukah kita mengakui emosi negatif? Bersediakah kita diam menghela nafas panjang untuk melepaskannya? Siapkah kita belajar berjalan dalam terang?
MARILAH KITA BERDOA:
Tuhan Yesus, terima kasih, atas kabar baik, yang Engkau sampaikan kepada kami pada hari ini. Kami sadar, bahwa kami masih sering kali bersikap reaktif mengikuti situasi permasalahan hidup. Ingatkanlah kami untuk berjeda sejenak, dan melepaskan ego yang mencengkeram. Dampingi kami untuk sabar mengamati pergantian dari gelap menjadi terang. Ajari kami berjalan dalam terang. Amin.